Jurnalistik di Sekolah untuk Membangun Budaya Literasi


Selepas kekalahannya dalam Perang Jawa, Pangeran Diponegoro menjalani hari-harinya di pengasingan. Sewaktu ditahan di Manado (1831-1832), di dalam penjara yang sunyi Sang Pangeran melakukan aktivitas literasinya dengan menulis Babad Diponegoro.

Tulisan berjudul “Mengenal Sejarah Babad Diponegoro, Warisan Ingatan Dunia” (cnn.indonesia.com; 8/7/23), menyebutkan bahwa Babad Diponegoro setebal 1.151 halaman folio tulisan tangan, yang terdiri beberapa bagian kisah. Dimulai dari runtuhnya sisa-sisa Majapahit pada 1527 hingga Perjanjian Giyanti pada 1755, dilanjutkan dengan pemaparan keadaan Kesultanan Ngayogyakarta, serta riwayat hidup Diponegoro dari kelahirannya pada 1785 hingga diasingkan ke Manado pada 1830.

Babad Diponegoro menjadi bukti kemampuan literasi Sang Pangeran, bahkan catatan ini diakui sebagai manuskrip yang sangat penting, sehingga ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO sejak 2013. Kompetensi literasi Sang Pangeran tentu menjadi salah satu pondasi untuk tumbuh berkembang menjadi seorang pemimpin tangguh.

Perlawanannya terhadap kolonial tidak main-main, selama 5 tahun berkobarlah Perang Jawa. Disebut sebagai Perang Jawa karena medannya meluas di daerah-daerah yang berbahasa Jawa, tidak sekedar di Yogyakarta dan Bantul.

Meluasnya medan perang karena adanya dukungan dari banyak pihak. Diponegoro tentu sosok yang sangat memahami sosiologi, agama, dan psikologi masyarakat, sehingga dengan pendekatan yang tepat gerakan perlawanannya memperoleh dukungan rakyat yang merasa dipedulikan, diperjuangkan, dan dibela hak-haknya. Perang yang demikian meluas dan lama, tentu diarsiteki pemimpin yang sangat bagus literasinya, bukan sekedar jagoan tempur yang tanggon trengginas.

Sebagai anak Sultan Yogyakarta, Diponegoro tumbuh dalam lingkungan yang kondusif untuk menyiapkannya menjadi sorang pemimpin. Hidupnya tentu banyak dibimbing oleh guru-guru hebat di zamannya. Secara khusus proses pendidikannya dari kecil hingga remaja dalam bimbingan eyang buyutnya, Ratu Ageng Tegalrejo, yang banyak mendatangkan ulama dan cedekiawan di zamannya ke Tegalrejo, untuk mendidik cicit kesayangannya.

Walhasil, perjuangan Sang Pangeran tidak berhenti kendati dalam belenggu tirai penjara di Manado. Kegiatan literasipun mengisi hari-harinya sebagai tawanan yang istimewa. Maka hingga kini pamor Diponegoro tidak hanya dikenang sebagai nama jalan protokol di banyak kota, universitas besar di Semarang, maupun kesatuan militer teritorial TNI di Jawa Tengah.

Melalui Babad Diponegoro, Sang Pangeran telah mewariskan nilai-nilai keteladanan perjuangannya yang luar biasa untuk kita. Setidaknya bila kita enggan membaca dan mengkajinya, kita harus mengakui bahwa Sang Pangeran telah mengajari bangsa ini bahwa membangun literasi itu penting.

 

Aktivitas Literasi untuk Kemerdekaan

Kekalahan Diponegoro dalam Perang Jawa pada 1830, praktis mengakhiri upaya-upaya perlawanan bersenjata kaum pribumi terhadap kolonial di Jawa. Selanjutnya otoritas kekuasaan yang ada saat itu , baik berupa kerajaan, kasultanan, kasunanan, puro, dan kadipaten tidak diijinkan untuk memiliki dan membangun kekuatan bersenjata.

Kalaupun diijinkan memiliki prajurit, sekedar dengan kekuatan terbatas untuk pengamanan istana, bangsawan, dan aset-asetnya. Memasuki awal abad ke-20, barulah kembali tumbuh harapan untuk melakukan perlawanan melalui aktivitas literasi para intelektual modern.

Mereka adalah anak-anak muda yang paling awal menikmati pendidikan modern karena adanya politik etis. Pasca Perang Jawa, Pemerintah Kerajaan Belanda jatuh miskin. Bahkan gara-gara 5 tahun fokus menghadapi Diponegoro, Belanda tidak mampu mencegah salah satu jajahannya yaitu Belgia untuk memerdekakan diri.

Untuk memulihkan keuangannya yang morat-marit, Belanda menerapkan tanam paksa di Indonesia. Petani di Jawa dipaksa menanam komoditi yang harganya tinggi di Eropa, tentu Belanda menjadi kaya raya namun rakyat jajahannya semakin menderita.

Puluhan tahun tanam paksa berlangsung, membuat rakyat Hindia Belanda semakin menderita. Hal ini menimbulkan kritik dari kelompok oposisi di parlemen Belanda. Walhasil, untuk mengurangi tekanan oposisi maka Belanda menerapkan politik etis, sehingga di Hindia Belanda mulai dibangun fasilitas pendidikan modern kendati aksesnya hanya untuk kaum bangsawan dan pegawai pemerintah kolonial.

Kendati demikian, di antara kaum elit terpelajar ini banyak pula yang memiliki rasa nasionalisme. Merekalah yang kemudian melanjutkan perjuangan, bukan dengan mengangkat senjata, namun melalui aktivitas organisasi pergerakan nasional.

Diponegoro-pun di kemudian hari disebut sebagai penendang bola salju kemerdekaan Indonesia. Tanpa Perang Jawa yang berkobar hebat, tidak akan ada tanam paksa yang di kemudian hari memicu desakan kepada Belanda untuk menerapkan politik etis, yang melahirkan kaum elit terpelajar yang cinta tanah air.

Trend saat itu, organisasi-organisasi pergerakan melakukan aktivitas literasi dengan menerbitkan surat kabar, majalah, maupun buletin, yang menjadi sejarah awal jurnalistik bangsa ini. Kegiatan literasi jurnalistik akhirnya menjadi senjata utama perjuangan bangsa.

Kegiatan berliterasi para jurnalis pergerakan bukanlah tanpa risiko ditindak oleh aparat keamanan pemerintah Hindia Belanda. RM Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), jurnalis Yogyakarta dari Puro Pakualaman ini pada tahun 1920 merasakan dinginnya penjara Pekalongan karena ketajaman tulisannya. Baju Suwardi kala mendekam di penjara Pekalongan menjadi koleksi Museum Dewantara Kirti Griya.

Literasi juga digunakan KH Ahmad Dahlan sebagai pilar awal dalam merintis Muhammadiyah di Yogyakarta. Dahlan mengawali persyarikatannya dengan membangun 5 pilar, yaitu sebagai gerakan literasi, dakwah, pemberdayaan perempuan, kesehatan dan sosial, serta pendidikan (KR; 2/6/2023).

Gerakan literasi Muhammadiyah di awal berdirinya dilembagakan dengan membentuk Taman Pustaka yang saat ini disebut Majelis Pustaka dan Informatika. Suara Muhammadiyah, sebagai aktivitas jurnalistik persyarikatan ini pertama terbit tahun 1915, dan menjadi majalah tertua di Indonesia yang hingga saat ini masih terbit dan telah berkembang menjadi berbagai unit usaha termasuk penerbitan buku dan perhotelan.

Kedua tokoh literasi dari Yogyakarta ini juga dikenal sebagai tokoh besar pendidikan nasional. Muhammadiyah dan Tamansiswa yang mereka wariskan bahkan menjadi bagian dari 4 pilar keistimewaan DIY, selain Kraton Kasultanan Ngayogyakarta dan UGM. Kedua ormas ini memiliki tradisi aktivitas literasi yang kuat dan mencerdaskan, walhasil menjadi pergerakan yang berumur panjang.

Menurut Sultan HB X, DIY menjadi istimewa dengan adanya Kraton Yogyakarta yang memiliki saham kebudayaan, UGM yang memiliki andil dalam ilmu pengetahuan, Taman Siswa yang memperkenalkan sistem pendidikan khas Indonesia di republik ini, dan  Muhammadiyah yang memiliki saham dalam Pendidikan berciri khas keagamaan dan amal sosial (Iwan Setiawan, Suara Muhammadiyah; 17/2/2023).

 

Mengadvokasi Aktivitas Jurnalistik Sekolah

Kemampuan literasi yang baik sangat menunjang kualitas seseorang, terbukti Diponegoro yang mampu menulis babad ribuan halaman rupanya sangat tangguh ketika tampil sebagai pemimpin. Aktivitas literasi dalam kemasan jurnalistik juga pernah menjadi alat perjuangan yang efektif, di kala kekuatan bersenjata kaum pribumi sudah lumpuh.

Kompetensi literasi bukan sekedar kemampuan membaca. Lebih dari itu, literasi akan menstimulasi kemampuan menggali gagasan, mempertajam daya analitis, serta merangsang inovasi. Seseorang yang literasinya baik, dapat semakin memperhalus perasaan, terbuka menerima saran dan kritik, menghormati pendapat, paham etika berbicara dan berpendapat, semua itu diperlukan dalam kehidupan yang berkeadaban.

Maka dalam Asesmen Nasional (ANBK), literasi menjadi salah satu komponen Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).  Asesmen Literasi bertujuan untuk mengukur kemampuan memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas Individu sebagai warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat (Rahmawati, uny.ac.id; 1/6/23).

Lantas apa yang harus dilakukan agar aktivitas literasi menjadi sebuah budaya kolosal anak bangsa ini? Sebagai bangsa besar, Indonesia perlu memiliki budaya kesadaran literasi yang baik. Agar literasi menjadi budaya yang mengakar di Indonesia, tidak cukup sekedar mengajarkan membaca dan menulis.

Route panjang membangun budaya literasi dalam 6 langkah harus dilalui mulai dari mengajarkan, membiasakan, konsisten melatih, hingga menjadi kebiasaan, menjadi karakter, dan akhirnya menjadi budaya.  Langkah yang panjang ini perlu disederhanakan dengan pendekatan kegiatan massif yang dapat menstimulasi budaya literasi.

Zaman pergerakan kebangsaan Indonesia, para pemuda bergiat dengan literasi melalui kegiatan jurnalistik sebagai sarana perjuangan. Saat inipun aktivitas jurnalistik masih cocok sebagai sarana menumbuhkan budaya literasi di sekolah.

Redaktur senior Kedaulatan Rakyat, Widyo Suprayogi dalam sebuah kegiatan di BPMP DIY menyampaikan bahwa jurnalistik di sekolah dapat menstimulasi kemampuan menulis anak, tentu agar bisa menulis sebelumnya anak juga termotivasi membaca. Widyo menambahkan, jurnalistik juga dapat melatih anak dalam bidang fotografi dan videografi. Selain urusan baca dan tulis, tentu saja produk jurnalistik sekolah dapat menampung karya seni siswa, misalnya lukisan, gambar, karikatur, komik, pantun, puisi, syair.

Jurnalistik di sekolah, lazimnya dahulu produk kegiatannya adalah majalah atau koran dinding. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, dapat pula produknya berupa majalah atau koran digital sekolah. Dan ini lebih murah dan praktis.

Pada skala DIY, atas nama mengadvokasi pemerintah daerah dalam menumbuhkan budaya literasi, Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) DIY dapat berperan strategis di dalam gerakan ini. Dari sisi pembinaan, BPMP DIY dapat menggandeng mitra yang kompeten dalam aktivitas jurnalistik, misalnya PWI, AJI, atau media massa pro pendidikan yang berhome base di Yogyakarta, misalnya Kedaulatan Rakyat.

Bagi sekolah yang secara teknis tidak mampu membangun laman koran digital siswa, BPMP DIY dapat mengadvokasi untuk mewujudkannya. Praktisi Teknologi Informasi dari BBGP DIY, Agus Bintarto, menilai BPMP DIY secara teknis cukup mumpuni untuk memfasilitas dukungan teknologi informasi dalam rangka membantu mewujudkan hadirnya laman koran digital di sekolah-sekolah. 

Semangat kolaborasi harus dibangun untuk membangun budaya literasi melalui kegiatan jurnalistik di sekolah. BPMP DIY sebagai representasi Kemdikbudristek di daerah perlu menginiasi langkah tersebut, sehingga semua elemen yang memiliki potensi di DIY secara komplementatif dapat berkontribusi sesuai kapasitasnya. Dinas Dikpora se DIY sebagai representasi otoritas pemerintah daerah, tentu akan menyambut baik apabila BPMP DIY menginisiasi kolaborasi berbagai pihak untuk mengadvokasi tumbuh kembangnya budaya literasi melalui aktivitas jurnalistik di sekolah. Salam literasi.


Tulisan ini telah pada Kamis, 8 Agustus 2024 | 18:53 WIB

https://www.krjogja.com/opini/1244955292/jurnalistik-di-sekolah-untuk-membangun-budaya-literasi

Komentar