Pak Mu'ti dan Literasi Gerak Anak Indonesia


Pada tahun 2023, sebagai Ketua Lembaga Pengembangan Olahraga (LPO) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bantul, penulis mengikuti Rakerwil (Rapat Kerja Wilayah) LPO PWM DIY di Kampus Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Salah satu mata acara adalah menyimak pemaparan materi yang menampilkan narasumber guru besar FIK UNY Profesor Caly Setyawan.

Profesor olahraga yang mengenyam pendidikan TK hingga SMA di perguruan Muhammadiyah ini, mengingatkan pentingnya olahraga pendidikan sebagai cara menanamkan literasi gerak sejak dini. Harapannya anak merasa senang dengan aktivitas jasmani, tidak malas olahraga, sehingga tumbuh menjadi manusia yang sehat bugar hingga tua.

Mas Caly menjelaskan, literasi gerak bukanlah perkara membentuk pengetahuan anak dengan sederet teori olahraga, misalnya menghafal ukuran lapangan voli dan pintar menjelaskan definisi gerak lokomotor dan non lokomotor. Gampangnya, penulis menangkap maksud dari literasi gerak itu arahnya untuk membekali dan membentuk rasa senang pada diri anak sekolah, sehingga aktif berolahraga.

Bagus juga melalui pelajaran olahraga di sekolah, anak-anak kita menjadi “kepo”, ingin tahu sehingga tertarik lebih serius berlatih bergabung dengan klub atau komunitas olahraga sesuai kegemarannya. Maka, penulis sepakat bahwa pelajaran olahraga di sekolah berhasil mencaai tujuannya, bila dapat menstimulasi hasrat anak untuk selalu beraktivitas olahraga, di manapun dan sampai kapanpun dengan kesadaran akan kebutuhan dan manfaatnya.

Bahwa sebagian anak kemudian menemukan bakatnya dan berkembang dalam olahraga tertentu, bahkan hingga berprestasi dalam jajaran atlet elit, itu anugrah yang wajib disyukuri. Namun, melalui literasi gerak diharapkan hingga lanjut usia seseorang tetap berolahraga, tentu sesuai kebutuhan dan kemampuannya.

Belajar Keras Menghadapi Ulangan Olahraga

Kepada Mas caly, penulis sempat mengungkapkan keluhan tentang mata pelajaran olahraga/PJOK. Anak-anak penulis, nampaknya di rumah tekun membaca buku paket PJOK menjelang asesmen. Terpampang di sampul buku itu logo Kurikulum Merdeka.

Mereka begitu kuatir dalam asesmen tertulisnya tidak dapat mengerjakan soal dengan benar. Namun demikian, mereka barangkali santai-santai saja saat tidak mampu berolahraga dengan baik, bahkan mungkin mengikutipun tidak semangat.

Isi bukunya juga tidak main-main lho, penuh teori olahraga. Gerak locomotor, non locomotor, manipulative, berikut contoh gerakannya dibabar habis seakan-akan membekali si anak untuk menjadi guru olahraga. Menanggapi keluhan penulis, nampaknya Mas Caly merasa prihatin, karena tujuan menginternalisasi literasi gerak pada anak mengalami pembelokan sekedar membangun pengetahuan olahraga.

Keluhan senada pernah penulis sampaikan kepada Pak Iwan Syahril, saat beliau masih menjadi Dirjen PAUD Dasmen Kemdikbudristek. “Waduh, seharusnya kalau sudah Kurikulum Merdeka, olahraga di sekolah itu semua praktik bukan teori,” demikian kurang lebih tanggapan beliau bernada prihatin.

Senam Anak Indonesia Hebat

Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengawali tugasnya dengan gebrakan massif untuk mengimlementasikan Senam Anak Indonesia Hebat (SAIH). Penulis menangkap maksud Pak Mu’ti menggunakan Senam Anak Indonesia Hebat sebagai salah satu pendekatan untuk membekali anak anak dengan literasi gerak.

Senam pagi di sekolah bukanlah hal yang baru. Pada zaman Presiden Soeharto setiap sekolah wajib melaksanakan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) secara rutin seminggu sekali. Penulis yang bersekolah SD hingga SMA di zaman orde baru, bahkan hingga saat ini masih hafal irama pengiring senam SKJ 1988.

Balatentara Jepang selama pendudukannya di Indonesia juga mewajibkan pelajar melakukan senam taiso di sekolah. Senam juga menjadi bagian aksi dari Gerakan Sekolah Sehat (GSS) di zaman Menteri Nadiem Makarim.

Semua Menteri Pendidikan Indonesia dari masa ke masa, pasti sadar pentingnya olahraga bagi anak-anak Indonesia. UNESCO dan  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia, sejak dahulu tegas menyatakan pentingnya literasi jasmani.

Kedua otoritas pendidikan ini melihat manfaat literasi jasmani untuk menunjang kesehatan dan kesegaran, pengembangan keterampilan hidup, meningkatkan kepercayaan diri, mengurangi risiko penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya” adalah pernyataan tegas bangsa ini dalam lagu kebangsaan tentang pentingnya olahraga. Lebih mendasar lagi, sebagai negara yang berketuhanan yang maha esa, memelihara kesehatan dan kebugaran jasmani disadari merupakan perintah agama dan sikap seorang pancasilais sejati.

Karunia tubuh yang sehat, wajib disyukuri oleh orang yang bertaqwa. Salah satu bentuk rasa syukurnya adalah merawat dengan baik kebugaran tubuh melalui aktivitas olahraga. Maka perlu dibangun literasi gerak sejak dini, sehingga menjadi kebiasaan hingga lanjut usia.

Pak Mendikdasmen kita saat ini seorang kyai haji, maka wajar bila serius mendorong bangsa Indonesia mensyukuri nikmat kesehatan. Hal ini dalam rangka semakin merasakan nikmatnya hidup berkualitas.

Maka Senam Anak Indonesia Hebat sebagai pendekatan untuk membudayakan literasi gerak perlu didukung imlementasinya. Namun demikian, penulis berharap agar Pak Mu’ti beserta seluruh jajarannya berkolaborasi dengan pemda,  mengawal pelaksanaan pelajaran olahraga di sekolah agar efektif menanamkan literasi gerak pada anak, bukan sekedar memberikan pengetahuan olahraga.

Dengan demikian murid bukan sekedar belajar tekun karena khawatir nilai ulangan teori olahraganya jelek, sementara dalam praktik olahraga di lapangan kurang semangat. Tentu, pemerintah harus berpihak pula kepada para guru olahraga. Mereka harus diberi kesempatan dalam peningkatan kompetensi, dan harus bangga mengampu mata pelajaran yang penting dan menentukan kualitas hidup bangsanya. 


Telah tayang di KR Jogja pada Sabtu, 11 Januari 2025 | 12:39 WIB

https://www.krjogja.com/opini/1245515040/pak-muti-dan-literasi-gerak-anak-indonesia


Komentar